duniaku dalam 32 minggu.
Rasanya belum lama ini aku kerap mengeluhkan hidup yang begini-begini saja. Kuhabiskan hampir sepanjang hari berkutat di depan oven panas demi melahirkan banyak resep kue gagal yang kubuat sebelumnya. “Mau sampai kapan begitu?” tanyaku pada diri sendiri.
Sedangkan waktu berjalan semakin maju — ada banyak tujuan hidup selayaknya manusia normal yang tentu saja ingin kugapai dalam waktu dekat. Sebut saja, kenyataan bahwa pasanganku sudah membersamaiku selama kurang lebih tiga tahun. Akankah kami berjalan di tempat saja? Bukankah kami juga mempunyai tujuan lain?
Lalu demi mencapai tujuan itu, apa lagi yang dibutuhkan? Ibuku pernah bilang bahwa seberapa sering aku mengelak bahwa materi bukanlah hal yang utama — tapi tetap saja kenyataannya berkata demikian.
Aku membutuhkan pekerjaan tetap. Agar kelak bisa mengisi tabungan untuk membangun keluarga baru dan menjadi manusia dewasa seutuhnya.
Tidak butuh waktu lama, karena dalam waktu 32 minggu kebelakang, panggilan itu menghampiriku. Rasanya kini aku semakin dekat dalam mencapai tujuanku. Namun, terkadang sebelum kita tiba di stasiun tujuan, adakalanya kita harus berhenti di peron tujuan lain sembari menikmati perjalanannya yang terkadang memakan waktu lebih lama.
Ah, ada saja cobaan untuk itu. Tapi tentu berkat semua waktu yang melambat inilah, aku belajar banyak hal. Diantaranya; cara untuk lebih memahami pasanganku, berbesar hati saat mendapat pekerjaan yang tidak sesuai keinginan, dan masih banyak lagi.
Aku menikmati perjalanan ini sembari mengenal diriku lebih jauh. Apakah masih ada kepingan atau sisa-sisa masa lalu yang tertinggal di dalam diriku? Yang meskipun ada namun aku tidak menyadarinya, haruskah aku bersiap untuk melawannya di masa yang akan datang?
Sebelum menginjakkan kaki lebih jauh, aku harus mempersiapkan bekal perjalanannya. Termasuk membereskan luka di masa lalu yang masih terus hinggap di dalam diriku. Ada suatu masa ketika aku tidak tahu siapa yang mengkhianati siapa. Atau siapa yang lebih pantas untuk ditinggalkan. Aku melihat dan merasakan itu semua. Baik pada kisah kedua orangtuaku, maupun kisahku sendiri. Saat itu, aku belum lama mengenal cinta. Di saat yang sama, aku menyaksikan perpisahan kedua orangtuaku. Tak lama setelahnya, aku merasakan hal itu sendiri dengan orang lain. Pertanyaan apakah aku masih layak atau tidak setelah dikhianati — dan hal lain yang berkecamuk di dalam kepalaku terus ada bahkan hingga aku telah bertemu dengan sosok yang baru.
Efek yang timbul setelahnya mungkin jauh lebih besar dari itu. Yang mengakibatkan aku terus-menerus mengulangi hal yang sama. Ketakutan akan ditinggal oleh orang tersayang senantiasa menghantuiku dengan berbagai cara. Lagi-lagi, aku harus mencari cara untuk mengobati luka lama supaya tidak akan kembali menganga.
Tapi tentu tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Ada kalanya kejadian buruk di masa lalu muncul di dalam mimpiku. Membuatku takut untuk jatuh cinta lagi, atau menaruh percaya pada seseorang. Namun kenyataannya kini, ada hati baru yang tengah kujaga. Dan ia hadir untuk mematahkan segala luka yang diakibatkan oleh masa lalu. Bukankah sebaiknya aku memilih untuk berjalan dengannya saja tanpa melihat ke belakang?
Hari ini, 32 minggu kemudian.
Aku menemukan diriku merindukan saat-saat harus menyalakan oven setiap hari dan menyiapkan pesanan kue dari banyak orang. Aku bertanya pada diriku sendiri, kira-kira apakah aku akan kembali ke masa itu? Dan kapan waktu yang tepat? Terselip harapan bahwa suatu hari nanti, hal itu yang akan mengisi masa tua-ku. Bersama dengan anak-anak yang akan kubesarkan nanti, dengan pasangan sehidup semati.
Aku memimpikan rumah kecil dengan halaman yang luas berada di jalur perbukitan. Tidak jauh dari orangtua kami, supaya kelak mereka bisa lebih dekat bertemu dengan cucu-cucunya.
Terhitung mulai hari ini, dan dalam hitungan waktu mendatang,
semoga aku lekas tiba pada sebaik-baiknya tujuan.